QANUN
ACEH
NOMOR 17 TAHUN
2013
TENTANG
KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI ACEH
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH
LAGI MAHA PENYAYANG
ATAS RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA
GUBERNUR ACEH,
Menimbang : a. bahwa
dalam rangka pelaksanaan Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia
dan Gerakan Aceh Merdeka (Memorandum of Understanding Between The Government
of Republic of Indonesia and The Free Aceh Movement Helsinki 15 Agustus 2005), Pemerintah
Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka menegaskan komitmen mereka untuk
menyelesaikan konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan
bermartabat bagi semua, dan para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi
sehingga Pemerintahan Rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang
demokratis dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b.
bahwa prinsip kebenaran dan keadilan merupakan
prinsip hak asasi manusia yang bersifat universal yang mengedepankan
perlindungan jiwa, keyakinan, kehormatan,
harta benda, dan kebebasan sebagai bentuk perlindungan masyarakat dari
kezaliman dan penindasan, pembelaan hak-hak orang-orang lemah dan pembatasan
kewenangan penguasa, dengan pendekatan
rekonsiliasi;
c.
bahwa
pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Aceh harus ditelusuri kembali
untuk keberlanjutan perdamaian di Aceh serta untuk kepentingan pemenuhan hak
hak-hak korban atas kebenaran, keadilan,
dan hak untuk mendapatkan reparasi serta meluruskan sejarah
demi pembelajaran bangsa agar kejadian serupa tidak terulang lagi dimasa
mendatang dan membentuk budaya menghargai hak asasi
manusia;
d.
|
bahwa berdasarkan Pasal 230 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh, Ketentuan lebih lanjut mengenai
tata cara pelaksanaan pemilihan, penetapan
anggota, organisasi dan tata kerja, masa tugas, dan biaya
penyelenggaraan Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi di Aceh,
yang dibentuk berdasarkan Pasal 229 ayat (1) Undang-undang Nomor 11
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, diatur dengan Qanun Aceh;
e.
bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu membentuk Qanun Aceh tentang Komisi Kebenaran Rekonsialiasi Aceh;
Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
Undang-Undang Nomor
24 Tahun 1956 tentang Pembentukan
Daerah Otonom Propinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi
Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 1103);
3.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Wanita (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984
Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3277);
4.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1998 tentang Pengesahan Convention
Againts Torture And Other Cruel, Inhuman Or Degrading Treatment Or Punisment
(Konvensi Menentang Penyiksaan Dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam,
Tidak Manusiawi, Atau Merendahkan Martabat Manusia) (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 164, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3783);
5.
Undang-Undang Nomor 44 Tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3893);
6.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886);
7.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 208, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4026);
8.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4548);
|
9.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2005 tentang Pengesahan International
Convenant On Economic, Social And Cultural Rights (Konvenan Internasional tentang
Hak-hak Ekonomi Sosial dan Budaya (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 2005
Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4557);
10.
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant On Civil And
Political Rights (Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 119, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4558);
11.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4633);
12.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2006 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4635);
13.
Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun
2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran
Hak Asasi Manusia Yang Berat;
Dengan Persetujuan
Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT ACEH
dan
GUBERNUR ACEH
MEMUTUSKAN :
Menetapkan: QANUN ACEH TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN
REKONSILIASI ACEH.
BAB
I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Qanun Aceh
ini yang dimaksud dengan:
1.
Pemerintah
Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia
yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2.
|
Aceh adalah daerah Provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang
bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan Peraturan
Perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang
dipimpin oleh seorang Gubernur.
3.
Kabupaten/Kota adalah
bagian dari daerah Provinsi sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yang diberi
kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan
dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang Bupati/Walikota.
4.
Pemerintahan Aceh adalah Pemerintahan Daerah Provinsi dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh sesuai
dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.
5.
Pemerintahan Kabupaten/Kota adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan
yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.
6.
Pemerintah Aceh
adalah unsur penyelenggara pemerintahan Aceh yang terdiri atas Gubernur dan Perangkat
Aceh.
7.
Gubernur adalah
Kepala Pemerintah Aceh yang dipilih melalui suatu proses demokratis yang
dilakukan berdasarkan asas langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil.
8.
Pemerintah Kabupaten/Kota adalah unsur
penyelenggara pemerintahan Kabupaten/Kota yang terdiri atas Bupati/Walikota dan
Perangkat Daerah Kabupaten/Kota.
9.
Bupati/Walikota adalah
kepala Pemerintah Kabupaten/Kota yang dipilih melalui suatu proses demokratis
yang dilakukan berdasarkan asas langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil.
10. Dewan Perwakilan
Rakyat Aceh yang selanjutnya disingkat DPRA adalah unsur penyelenggara
Pemerintahan Aceh yang anggotanya dipilih melalui Pemilihan Umum.
11. Dewan Perwakilan
Rakyat Kabupaten/Kota yang selanjutnya disingkat DPRK adalah unsur
penyelenggara Pemerintahan Kabupaten/Kota yang anggotanya dipilih melalui Pemilihan
Umum.
12. Gampong
atau nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang berada di bawah Mukim yang
dipimpin oleh Keuchik atau nama lain yang berhak menyelenggarakan urusan rumah
tangga sendiri.
13. Hak Asasi Manusia yang selanjutnya
disingkat HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum,
Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia.
|
14. Pelanggaran HAM adalah setiap
perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja
maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi,
menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau
kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak
memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum
yang berlaku.
15. Pelanggaran HAM yang berat adalah
pelanggaran HAM terhadap kemanusiaan, genosida dan kejahatan perang.
16. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Aceh yang selanjutnya disebut KKR Aceh adalah lembaga independen yang dibentuk
untuk mengungkapkan kebenaran, pola dan motif atas pelanggaran HAM dalam
konflik bersenjata di Aceh, merekomendasikan tindak lanjut, merekomendasikan
reparasi dan melaksanakan rekonsiliasi.
17. Komisioner adalah orang yang dipilih
dan diangkat untuk menjalankan kewenangan dan tugas KKR Aceh.
18. Pengadilan Hak Asasi Manusia yang
selanjutnya disebut Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus di Aceh terhadap
pelanggaran hak asasi manusia.
19. Kebenaran adalah kebenaran hasil
temuan KKR Aceh atas suatu peristiwa pelanggaran HAM, baik mengenai korban,
pelaku, tempat, maupun waktu.
20. Rekonsiliasi adalah hasil dari suatu
proses pengungkapan kebenaran, pengakuan, dan pengampunan, dan penerimaan
kembali korban dan pelaku oleh komunitas, melalui KKR Aceh dengan menggunakan
mekanisme adat Aceh dalam rangka menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia
untuk terciptanya perdamaian dan persatuan bangsa.
21. Reparasi adalah hak korban atas
perbaikan atau pemulihan yang wajib diberikan oleh negara kepada korban karena
kerugian yang dialaminya, baik berupa restitusi, kompensasi, rehabilitasi,
jaminan ketidakberulangan dan hak atas kepuasan.
22. Restitusi adalah ganti kerugian
berupa materi atau ekonomi yang diberikan oleh pelaku atau pihak ketiga kepada
korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya berupa pengembalian
hak-hak korban yang telah dilanggar dan
dirampas secara tidak sah.
23. Kompensasi adalah ganti kerugian yang
diberikan oleh negara kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli
warisnya atas kerugian ekonomi yang proporsional dengan pelanggaran yang
dialami korban untuk memenuhi kebutuhan dasar, termasuk perawatan kesehatan
fisik dan mental.
24.
|
Rehabilitasi
adalah pemulihan harkat dan martabat seseorang yang menyangkut kehormatan, nama
baik, jabatan, termasuk pemulihan kondisi fisik, psikis, maupun status sosial,
melalui pemberian layanan medis, psikologis, hukum, dan sosial pada korban
sesuai kebutuhannya.
25. Hak atas kepuasan adalah untuk
memuaskan korban yang termasuk di dalamnya dihentikannya pelanggaran, pengakuan
kebenaran, pencarian orang hilang termasuk penggalian kuburan massal, deklarasi
resmi atau putusan judisial yang memulihkan martabat korban, permintaan maaf
resmi, sanksi terhadap pelaku, penghargaan korban melalui peringatan dan
monumen.
26. Korban adalah orang perseorangan dan
atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental, maupun
emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau
perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat langsung dari pelanggaran hak asasi
manusia yang berat termasuk korban juga ahli warisnya.
27. Pelaku adalah Setiap orang
perseorangan, kelompok orang, baik sipil, militer, maupun polisi yang
bertanggung jawab secara individual maupun institusi atas pelanggaran hak asasi
manusia yang terjadi di Aceh.
28. Penyelidikan adalah serangkaian
tindakan komisi untuk mencari dan menemukan peristiwa ada tidaknya pelanggaran
HAM berat yang terjadi pada masa konflik Aceh dengan tetap berlandaskan pada
prinsip kemanusiaan dan pembuktian berimbang guna ditindaklanjuti sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam Qanun ini.
29. Pengakuan adalah pernyataan dihadapan
komisi dalam bentuk lisan atau tertulis oleh pelaku pelanggaran hak asasi
manusia tentang pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukannya atau ikut
dilakukannya.
30. Pengungkapan Kebenaran adalah serangkaian
tindakan komisi untuk mencari dan menemukan peristiwa pelanggaran HAM yang
tidak berat pada masa konflik di Aceh untuk tujuan rekonsiliasi korban dan
pelaku yang meliputi pengumpulan informasi dan dokumen, investigasi,
pengambilan pernyataan dan publikasi.
31. Investigasi adalah salah satu
tindakan komisi dalam mengungkapkan kebenaran tentang tindak pelanggaran HAM
yang tidak berat, yang dilakukan berdasarkan informasi dan data yang terkumpul
untuk menemukan korban, pelaku, dan bentuk pelanggaran guna rekonsiliasi.
BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN
PRINSIP KERJA
Pasal 2
KKR Aceh
berasaskan:
a.
keislaman;
b.
ke-Aceh-an;
c.
independensi;
d.
imparsial;
e.
non-diskriminasi;
f.
demokratisasi;
g.
keadilan
dan kesetaraan; dan
h.
|
kepastian
hukum.
Pasal 3
KKR Aceh bertujuan:
a. memperkuat perdamaian dengan
mengungkapkan kebenaran terhdapa pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu.
b. membantu tercapainya rekonsiliasi antara pelaku pelanggaran HAM baik individu maupun lembaga
dengan korban; dan
c. merekomendasikan reparasi menyeluruh bagi korban pelanggaran HAM,
sesuai dengan standar universal yang berkaitan dengan hak-hak korban.
Pasal 4
KKR Aceh dalam mencapai
tujuannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 berdasarkan pada prinsip kerja:
a.
partisipasi;
b.
transparansi;
c.
mengutamakan perlindungan dan pemulihan terhadap korban;
d.
menolak pengampunan
(impunitas);
e.
hak jawab bagi pelaku;
f.
pembuktian yang berimbang;
g.
pertanggungjawaban individu dan
institusi;
h.
pencegahan keberulangan (preventive);
i.
komplementer;
j.
pendekatan keberagaman;
k.
perspektif gender;
dan
l.
profesionalitas.
BAB III
KELEMBAGAAN
Bagian
Kesatu
Susunan dan
Kedudukan
Pasal 5
|
a. Ketua, berasal dari salah seorang anggota KKR
Aceh;
dan
b. Anggota, berasal dari selain unsur KKR Aceh.
(7) Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b
berjumlah genap paling sedikit 2 (dua) orang dan paling banyak 6 (enam) orang.
(8) Kelompok Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (6),
terdiri atas :
a. Kelompok Kerja Bidang Pengungkapan kebenaran;
b. Kelompok kerja bidang
perempuan;
c. Kelompok Kerja bidang Reparasi;
d. Kelompok Kerja bidang perlindungan saksi dan korban;
e. Kelompok kerja bidang dokumentasi dan publikasi; dan
f. Kelompok Kerja bidang Rekonsiliasi;
(9)
Kelompok kerja
sebagaiman dimaksud pada ayat (8) dibentuk sesuai dengan
tahapan proses kerja KKR Aceh.
Pasal 6
Bagian Kedua
Tugas, Fungsi dan Wewenang
Pasal 8
KKR Aceh
bertugas:
a.
menyusun
mekanisme pengungkapan kebenaran, reparasi dan rekonsiliasi;
b.
mengumpulkan
informasi dari organisasi pemerintah dan organisasi non pemerintah baik
nasional maupun internasional, yang dilakukan atas inisiatif organisasi
tersebut ataupun permintaan KKR Aceh sepanjang masih dalam lingkup kompetensi
KKR Aceh;
c.
melakukan
penyelidikan untuk mencapai tujuannya termasuk mendapatkan laporan-laporan,
dokumen-dokumen, atau bukti-bukti dari pihak berwenang dan badan pemerintah;
d.
menerima
pernyataan dan bukti lainnya dari para korban, perwakilan, ahli waris atau
kerabat korban;
e.
bertanggung
jawab menjaga kerahasiaan orang yang melapor dan memberikan kesaksian;
|
f.
memberikan perlindungan
kepada saksi dan korban serta orang-orang yang terlibat dalam proses
pengungkapan kebenaran, apabila dibutuhkan;
g.
menjaga
arsip-arsip yang berkaitan dengan pelanggaran HAM untuk mencegah penyalahgunaan
dan penghancuran arsip-arsip dan/atau barang bukti lainnya;
h.
melaporkan
temuan tentang pelanggaran HAM dan dugaan pelanggaran HAM berat, berdasarkan
bukti da fakta yang telah dikumpulkan, termasuk analisis faktor penyebab dan
peristiwa yang melatarbelakangi, motivasi politik dan/atau ekonomi, tindakan
dan aktor baik lembaga negara maupun non-negara serta dampaknya;
dan
i.
menyampaikan laporan
akhir kepada pemerintah Aceh, DPRA, Pemerintah, lembaga-lembaga penegakan HAM
dan publik.
Pasal 9
Untuk menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8, KKR Aceh berfungsi :
a.
melaksanakan prinsip
dan tugas KKR Aceh;
b.
membuat
kebijakan dan merencanakan program berkaitan dengan seluruh aspek kerja Komisi;
c.
melakukan fungsi
koordinasi dengan seluruh komisioner;
d.
membangun
jaringan dengan berbagai otoritas dan pihak lain; dan
e.
memastikan
ketersediaan sumber daya dan mengontrol anggaran yang berkaitan dengan
pelaksanaan Qanun ini.
Pasal 10
Untuk menyelenggarakan fungsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9, KKR Aceh berwenang:
a.
mendapatkan akses
pada semua sumber informasi yang diperlukan untuk penyelidikan dalam bentuk
dokumen tertulis ataupun keterangan lisan yang berasal dari institusi
pemerintah maupun non pemerintah;
b.
mendapatkan
keterangan atau pernyataan dari setiap orang atau institusi yang terkait dengan
peristiwa yang sedang diselidiki;
c.
mendapatkan
seluruh informasi dari semua proses pemeriksaan perkara, persidangan dan
putusan pengadilan untuk mendukung proses penyelidikan;
d.
mendapatkan dukungan
resmi terhadap pelaksanaan tugas komisi dari institusi negara dan asistensi teknis
yang diperlukan untuk pencapaian tujuan pembentukan komisi;
e.
membangun
dukungan kerjasama dengan institusi non negara baik nasional maupun
internasional untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tujuan pembentukan komisi;
f.
|
menyebutkan
nama-nama pelaku yang terkait dengan pelanggaran HAM;
g.
melakukan
pemulihan nama baik terhadap kekeliruan dalam penyebutan nama-nama pelaku;
h.
menjaga dan
menyimpan seluruh informasi yang diperoleh dalam penyelidikan untuk kepentingan
pemenuhan hak korban atau pelaku;
i.
membuka informasi
yang diperoleh dalam penyelidikan dalam hal dan kepada pihak-pihak yang dalam
pertimbangan komisi tidak merugikan korban dan pelaku;
j.
mengundang
korban, saksi dan atau institusi untuk mendukung proses penyelidikan;
k.
meminta lembaga
atau institusi yang berwenang untuk memberikan perlindungan bagi saksi, korban
dan pelaku yang mengaku;
l.
merekomendasikan
langkah-langkah reparasi yang adil bagi para korban;
m.
merekomendasikan
langkah-langkah legal dan administrasi guna mencegah tindakan-tindakan
keberulangan dari pelanggaran HAM masa
lalu; dan
n.
memastikan
pemerintah melaksanakan seluruh rekomendasi komisi.
Syarat dan kriteria untuk menjadi anggota KKR Aceh adalah:
a. warga Negara Indonesia yang berdomisili di
Aceh;
b. sehat
jasmani dan rohani;
c. mampu membaca Al-Qur’an;
d. berumur paling rendah 30 tahun dan paling
tinggi 65 tahun pada saat mendaftar;
e. pendidikan paling rendah strata satu (S1);
f. bukan anggota partai politik, TNI, Polri, atau
pegawai negeri sipil (PNS);
g. memiliki integritas, moral dan berkepribadian
yang baik;
h. bukan pelaku ataupun yang diduga sebagai
pelaku pelanggaran HAM, pelaku tindak pidana korupsi atau pelaku tindak pidana
lainnya;
i. memiliki keberpihakan kepada korban, terutama
korban pelanggaran HAM;
j. memiliki komitmen dalam penegakan HAM;
k. memiliki pemahaman dan visi tentang
kerja-kerja pengungkapan kebenaran, pemulihan korban dan rekonsiliasi;
l. memahami kearifan lokal dan konteks konflik
Aceh;
|
m. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak
pidana kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 (lima) tahun penjara atau lebih,
kecuali tindak pidana politik; dan
o.
tidak merangkap
jabatan dengan jabatan publik lainnya.
Bagian Keempat
Keanggotaan
Pasal 12
(1)
Calon Anggota KKR Aceh dilakukan oleh
DPR Aceh dengan membentuk panitia seleksi yang independen.
(2)
Panitia Seleksi terdiri dari 5
(lima) orang dari unsur masyarakat, diantaranya 2 (dua) orang perempuan.
Sumpah dan jabatan
Pasal 13
(1)
Ketua, Wakil
Ketua, dan anggota KKR Aceh, diambil sumpah dan dilantik oleh Gubernur.
(2)
Pengambilan
sumpah dan pelantikan anggota KKR Aceh sebagimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam Sidang Paripurna Istimewa DPR Aceh.
(3)
Sumpah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan lafadznya
sebagai berikut:
"Demi Allah, saya bersumpah bahwa
saya tidak memberikan atau menjanjikan sesuatu apa pun kepada siapa pun juga,
langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apa pun juga,
untuk melaksanakan tugas ini.
"Demi Allah, saya bersumpah bahwa
saya tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapa
pun juga suatu janji atau pemberian untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam tugas ini.
|
"Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya akan setia kepada dan akan
mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta Peraturan Perundang-undangan
yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia.
"Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas
ini dengan jujur dan benar, seksama dan objektif dengan tidak membeda-bedakan
orang, dan akan menjunjung tinggi etika profesi dalam melaksanakan kewajiban
saya ini dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang
petugas yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan".
Bagian Keenam
Masa Kerja
Pasal 14
BAB IV
TATA KERJA KKR ACEH
Bagian Kesatu
Pertanggungjawaban
Pasal 15
(1)
KKR Aceh melaporkan
perkembangan kerjanya kepada Gubernur dan DPRA secara periodik.
(2)
Penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan:
a. setiap 6 (enam) bulan;
b. setiap akhir tahun;
c. karena hal-hal khusus; dan
d. pada akhir masa jabatan.
(3)
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bersifat
terbuka untuk umum dan dapat disebarluaskan melalui media massa.
Bagian Kedua
Penyusunan Laporan
Pasal 16
(1)
|
KKR Aceh wajib menyusun laporan yang memuat tentang
pelanggaran HAM dan pelanggaran HAM berat, berdasarkan bukti dan fakta yang
telah dikumpulkan, termasuk analisis faktor penyebab, peristiwa yang
melatarbelakangi, motifasi politik dan atau ekonomi, tindakan dan aktor baik
lembaga negara maupun non-negara serta dampaknya.
(2)
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
kepada Gubernur, DPR Aceh, Pemerintah dan publik.
(3)
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3)
bersifat terbuka untuk umum kecuali yang berkaitan dengan identitas korban.
(4)
KKR Aceh di dalam laporannya harus membuat rekomendasi
demi perlindungan hak asasi manusia untuk:
Bagian Ketiga
Pemberhentian dan Pergantian Antar Waktu
Pasal 17
(1)
Anggota KKR
Aceh diberhentikan karena :
a.
meninggal
dunia;
b.
berhalangan
tetap;
c.
berakhir
masa jabatan;
d.
mengundurkan
diri;
e.
ditetapkan
sebagai terdakwa oleh pengadilan karena melakukan tindak pidana; atau
f.
tidak lagi
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.
(2)
Anggota
KKR Aceh yang diberhentikan karena
alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, diberikan kesempatan untuk
membela diri.
(3)
Pemberhentian
anggota KKR Aceh sebagimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Gubernur
atas usul DPR Aceh.
Pasal 18
(1)
Anggota KKR Aceh yang
diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 pada ayat (1) huruf a, huruf
b, huruf, d dan huruf dilakukan
pergantian antar waktu.
(2)
Pergantian antar waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diambil dari cadangan komisioner KKR Aceh
berdasarkan nomor urut tertinggi.
(3)
Pergantian antar waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Gubernur atas
usul DPR Aceh.
|
BAB V
PENGUNGKAPAN KEBENARAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal
19
a.
Hak ekonomi, sosial dan
budaya; dan
b.
Hak sipil dan politik.
Pasal 20
Bagian Ketiga
Mekanisme
Pasal 21
(1)
Pengungkapan
kebenaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dilakukan dengan cara:
a.
mengumpulkan informasi dan
dokumen terkait;
b. pengambilan pernyataan; dan
c.
|
investigasi.
(2)
KKR Aceh dalam melakukan pengungkapan kebenaran dapat
bekerja sama dengan lembaga Pemerintah dan non Pemerintah baik dalam maupun
luar negeri.
Pasal 22
(1)
Pengumpulan informasi dan
dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a dilakukan oleh KKR
Aceh.
(2)
KKR Aceh berhak meminta
organisasi Pemerintah dan organisasi non Pemerintah untuk menyerahkan data dan
dokumen terkait.
(3)
Informasi dan dokumen yang
sudah terkumpul, dijadikan dasar untuk melakukan tahapan selanjutnya dalam
pengungkapan kebenaran.
(4)
KKR Aceh dapat mengumpulkan
informasi lainnya secara langsung dari masyarakat.
(5)
KKR Aceh dapat meminta
pertimbangan para ahli atau lembaga yang mempunyai keahlian berkenaan dengan
informasi dan dokumen terkait.
(6)
Tatacara pengumpulan
informasi dan dokumentasi ditetapkan dalam Peraturan KKR Aceh.
Pasal 23
(1)
Pengambilan
pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b dilakukan oleh
KKR Aceh.
(2)
KKR Aceh
dapat melakukan pengambilan pernyataan secara langsung atau tidak langsung.
(3)
KKR Aceh
dapat melakukan pengambilan pernyataan secara terbuka di depan publik atau
secara tertutup.
(4)
Pengambilan
pernyataan yang berkaitan dengan kekerasan seksual harus dilakukan secara
tertutup kecuali atas permintaan korban.
(5)
Atas
permintaan korban, dalam pengambilan pernyataan korban dapat didampingi pendamping
yang ditunjuk oleh korban.
(6)
KKR Aceh
berhak meminta para pihak untuk memberikan pernyataan sesuai dengan tatacara
yang diatur dalam Peraturan KKR Aceh.
Pasal 24
(3)
Mekanisme pembentukan tim
investigasi independen dan tata cara pelaksanaan investigasi diatur dalam Peraturan KKR Aceh.
Pasal 25
(1)
Seluruh
dokumen yang diperoleh dalam tahapan pengungkapan kebenaran yang telah
diverifikasi dikumpulkan oleh KKR Aceh.
(2)
|
KKR Aceh
melakukan pengolahan data dengan tatacara dan sistem pengolahan data yang
diatur dalam Peraturan KKR Aceh.
(3)
Hasil akhir
pengungkapan kebenaran menjadi dokumen resmi Pemerintah Aceh.
(4)
Dokumen resmi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.
(5)
KKR Aceh
mempublikasikan pengungkapan kebenaran melalui media massa.
BAB VI
REPARASI
Bagian Pertama
Umum
Pasal
26
Bagian Kedua
Tujuan Reparasi
Pasal 27
Reparasi
bertujuan:
a.
memberikan
jaminan pada masyarakat bahwa Negara memberikan perlindungan HAM dalam situasi
dan kondisi apapun; dan
b.
memenuhi hak
korban atas kerugian yang diderita serta pemulihan yang dibutuhkan oleh korban.
|
Bagian Ketiga
Reparasi untuk Rehabilitasi
Pasal 28
(1)
Reparasi
untuk tujuan rehabilitasi korban dapat dilakukan kerjasama dengan organisasi
yang memiliki kemampuan untuk memberikan upaya rehabilitasi yang dibutuhkan
dengan memperhatikan hak-hak dasar korban.
(2)
Reparasi untuk
tujuan rehabilitasi dapat dilakukan dalam dua tahap yaitu:
a.
jangka pendek,
dalam bentuk pelayanan segera pada korban-korban yang paling rentan, dengan
menggunakan berbagai metode dan media; dan
b.
jangka
panjang, melalui pengumpulan informasi untuk merancang program yang wajib
dijalankan oleh pemerintah berdasarkan rekomendasi dari KKR Aceh.
(3)
Rekomendasi
KKR Aceh terhadap reparasi mendesak bagi korban harus segera dilaksanakan.
BAB VII
REKONSILIASI
Bagian Kesatu
Pasal 30
(1) Rekonsiliasi hanya dapat dilakukan pada
kasus-kasus yang tidak termasuk dalam pelanggaran HAM berat.
(2) Rekonsiliasi dilakukan secara sukarela tanpa
pemaksaan baik kepada korban maupun pelaku.
Pasal 31
(1) Rekonsiliasi dilakukan pada tingkat Gampong,
Mukim, Kabupaten/Kota dan Aceh.
|
(2) Rekonsiliasi dilakukan secara individual dan
kolektif terhadap korban dan pelaku dalam masing-masing kasus.
(3) Rekonsiliasi hanya dilakukan terhadap korban
dan pelaku setelah proses pengungkapan kebenaran selesai.
(4) Rekonsiliasi yang telah terjadi tidak menutup
kemungkinan untuk dilakukannya penegakan hukum di pengadilan terhadap pelaku
dalam kasus yang sama dan berkenaan dengan korban yang sama.
Pasal 32
(1) Dalam hal korban telah meninggal dunia atau
tidak diketahui keberadaannya maka rekonsiliasi dilakukan antara pelaku dengan
keluarga korban.
(2) Dalam hal pelaku telah meninggal dunia maka
rekonsiliasi dilakukan oleh institusi yang menaungi pelaku sebagai wakil pelaku
dan/atau keluarga pelaku dengan korban atau keluarga kocrban.
Bagian Kedua
Tujuan Rekonsiliasi
Pasal 33
Rekonsiliasi
bertujuan:
a. merajut kembali persaudaraan yang
terpecah dan menghilangkan dendam antara korban/keluarga korban dan pelaku
dalam rangka memperkuat keutuhan masyarakat dan bangsa; dan
b. membangun kebersamaan untuk menjaga
keberlanjutan perdamaian;
c. mencegah berulangnya konflik; dan
d. menjaga keutuhan wilayah Aceh.
Bagian Ketiga
Mekanisme Rekonsiliasi
Pasal 34
Rekonsiliasi tingkat Gampong dan Kecamatan
dilaksanakan dengan ketentuan:
a.
oleh KKR Aceh
yang disaksikan oleh lembaga adat setingkat Mukim dan/atau Gampong;
b.
mempertemukan
dan melakukan mediasi antara pelaku dan korban;
c.
pelaku
memohon maaf kepada korban secara terbuka dan dijawab dengan pernyataan
penerimaan maaf oleh korban secara terbuka juga;
d.
pernyataan
permohonan dan pemberian maaf harus dilakukan secara individual;
dan
e.
dalam
permohonan maaf, pelaku menyatakan secara jelas kesediaannya untuk membayar
restitusi yang disepakati oleh kedua belah pihak.
|
Pasal 35
(1)
Rekonsiliasi pada
tingkat Kabupaten/Kota dan Aceh dilakukan dalam hal pelaku bertanggung jawab
terhadap pelanggaran HAM pada tingkatan kebijakan.
(2)
Rekonsiliasi pada
tingkat Kabupaten/Kota dan Aceh hanya dapat dilakukan setelah rekonsiliasi di
tingkat Gampong dan Kecamatan selesai.
Pasal 36
Rekonsiliasi pada
tingkat Kabupaten/Kota dan Aceh dilaksanakan dengan ketentuan:
a.
dilakukan
oleh KKR Aceh yang dihadiri oleh Wali Nanggroe atau orang yang ditunjuk oleh
Wali Nanggroe;
b.
mempertemukan
dan melakukan mediasi antara pelaku dengan korban atau perwakilan korban;
c.
KKR Aceh
membacakan kesalahan yang dilakukan oleh Pelaku termasuk uraian perintah atau
kebijakan yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM;
d.
pelaku menyatakan
secara terbuka kesalahan kebijakan atau perintah yang diberikannya sehingga
mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM;
e.
pelaku memohon
maaf kepada korban secara terbuka dan dijawab dengan pernyataan penerimaan maaf
oleh perwakilan korban secara terbuka;
f.
pernyataan permohonan
maaf harus dilakukan secara individual dan pernyataan pemberian maaf dilakukan
oleh korban atau perwakilan korban; dan
g.
dalam hal
permohonan maaf, pelaku menyatakan secara jelas kesediaannya untuk membayar
restitusi.
Pasal 37
(1)
Seluruh
proses rekonsiliasi Aceh dicatat dalam suatu berita acara yang ditandatangani
oleh korban, pelaku dan komisioner yang bertugas serta lembaga adat yang hadir bertindak
sebagai saksi.
(2)
Berita acara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
a.
identitas lengkap
korban dan pelaku;
b.
tanggal,
tempat dan waktu pelaksanaan rekonsiliasi;
c.
uraian lengkap
pelanggaran HAM yang menjadi obyek rekonsiliasi mencakup tanggal, tempat dan
waktu kejadian dan tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan serta kebijakan atau
perintah yang diberikannya sehingga mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM;
d.
kesepakatan untuk
bentuk, jumlah, waktu dan tatacara pembayaran restitusi atau sanksi adat;
e.
uraian lengkap
proses rekonsiliasi; dan
f.
tanda tangan
para pihak.
(3)
KKR Aceh membacakan kesalahan yang dilakukan
oleh pelaku termasuk uraian tindakan yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran
HAM, sebelum berita acara ditandatangani;
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tatacara dan
teknis pelaksanaan rekonsiliasi mengacu pada kearifan lokal Aceh yang diatur
dengan Peraturan KKR Aceh.
BAB VIII
PENGELOLAAN, PENYIMPANAN DAN
PERUNTUKAN DATA
Pasal 38
Setiap
dokumen yang didapat dan diterima oleh KKR Aceh harus didaftar/diregister dan
diberi nomor.
Pasal 39
Dokumen
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 38, diarsipkan dan digandakan sebanyak 2
(dua) eksemplar
sebagai data pendukung dan disimpan ditempat yang berbeda dengan dokumen asli.
Pasal 40
(1)
Dokumen ini
bersifat terbuka untuk umum, kecuali ditentukan lain oleh KKR Aceh dengan
memperhatikan kepentingan korban dan saksi.
(2)
Dokumen-dokumen
yang akan dikeluarkan harus memiliki legalitas KKR Aceh.
Pasal 41
(1) Kepala kelompok
kerja bidang dokumentasi dan publikasi bertanggung jawab terhadap pengelolaan,
penyimpanan dan peruntukan dokumen yang diorganisir dalam sebuah pangkalan data
(database).
(2) komisioner KKR
Aceh yang akan berakhir masa tugasnya, wajib menyerahkan dokumen kepada
Pemerintah Aceh dan komisioner periode berikutnya dan menjadi dokumen resmi.
(3) KKR Aceh dan
Pemerintah Aceh berkewajiban untuk secara terus menerus memberikan perlindungan
bagi informasi yang sifatnya rahasia sesuai dengan permintaan korban dan atau
untuk kepentingan keamanan bagi korban.
BAB IX
PENDANAAN
Pasal 42
(1) Pendanaan KKR Aceh bersumber dari APBA.
(2) Selain sumber
pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KKR Aceh dapat menerima pendanaan
dari APBN, APBK dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat.
(3) Pemerintah Aceh
dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat memobilisasi donasi nasional dan
internasional untuk pembiayaan proses pengungkapan kebenaran, reparasi dan
rekonsiliasi.
BAB
X
SEKRETARIAT
Bagian Kesatu
Pembentukan
Pasal 43
Dengan Qanun ini dibentuk Sekretariat
KKR Aceh.
|
Bagian Kedua
Kedudukan
Pasal
44
(1)
Sekretariat KKR Aceh merupakan
unsur pendukung dan pelayanan terhadap KKR Aceh.
(2) Sekretariat
KKR Aceh dipimpin oleh seorang Kepala Sekretariat yang secara fungsional
bertanggung jawab kepada Pimpinan KKR Aceh dan secara administratif kepada Gubernur
melalui Sekda.
BAB XI
LARANGAN
Pasal 45
Anggota KKR Aceh, Sekretariat KKR dan
setiap orang yang terlibat dalam KKR Aceh dilarang:
a.
mengadakan
hubungan langsung atau tidak langsung dengan pelaku atau pihak lain yang ada hubungan dengan
pelanggaran hak asasi manusia yang ditangani KKR Aceh sehingga dapat
mempengaruhi proses pengungkapan kebenaran;
b.
menangani
pemeriksaan atas pelanggaran hak asasi manusia yang pelakunya mempunyai
hubungan keluarga sedarah atau semenda. dalam garis lurus ke atas atau ke bawah
sampai derajat ketiga dengan anggota KKR Aceh yang bersangkutan;
dan
c.
Menyalah gunakan
informasi dan dokumen berkenaan dengan seluruh proses pengungkapan kebenaran, baik semasa bertugas
maupun sesudahnya.
BAB XII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 46
(1)
Setiap orang
yang menghalangi tindakan pengungkapan kebenaran, reparasi dan rekonsiliasi
yang sedang ditangani oleh Komisi, dipidana dengan pidana kurungan paling lama
6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah).
(2)
Percobaan, permufakatan
jahat, atau pembantuan untuk melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dipidana dengan pidana yang sama.
Pasal 47
Setiap Komisioner KKR Aceh yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah).
|
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 48
(1)
Semua tindakan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang terkait dengan pelanggaran HAM berat
yang proses hukumnya belum selesai pada saat terbentuknya KKR Aceh, dapat
diambil alih penyelesaiannya oleh KKR Aceh.
(2)
Peristiwa
pelanggaran HAM berat yang telah diungkapkan oleh KKR Aceh, Tetap dapat
ditindaklanjuti melalui mekanisme hukum.
(3)
Dalam hal
dianggap perlu, KKR Aceh dapat bekerjasama dengan lembaga baik negara maupun
non negara yang berkaitan dengan kerja-kerja KKR Aceh termasuk lembaga
penegakan HAM, lembaga perlindungan saksi dan korban dan lembaga donor.
(4)
Dengan
terbentuknya Undang-Undang Republik Indonesia tentang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi, tata kerja KKR Aceh akan disesuaikan kembali.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 49
Hal-hal yang belum diatur dalam
Qanun Aceh ini sepanjang menyangkut teknis pelaksanaannya akan diatur lebih
lanjut dengan Peraturan KKR Aceh.
Pasal 50
Qanun ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
|
Agar setiap
orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Qanun ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Aceh.
|
No comments:
Post a Comment