14 Jan 2009

TNI dan Pemilu Aceh

TNI adalah alat negara yang harus selalu siap untuk digerakkan dalam menjaga kedaulatan negara dari ancaman luar negeri. Dalam menjalankan peran, fungsi dan tugasnya, TNI merujuk pada amanah Undang-Undang No. 34/2004 tentang Tentara Republik Indonesia, dimana didalamnya dijelaskan dengan tegas peran TNI yaitu “TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara (pasal 5)”. Sementara untuk konteks tugas, TNI memiliki mandat yang meliputi 2 hal yaitu melakukan operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang (pasal 7 ayat 2). Maka idealnya tugas TNI tidak keluar dari koridor itu.

TNI dan Kepolisian memiliki fungsi yang sangat berbeda, walaupun keduanya merupakan institusi negara yang berperan sebagai alat untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, bangsa dan negara. Hal ini bisa kita lihat dalam UU No. 2/2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia. Fungsi polisi adalah “salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat (pasal 2)”.

Menyadari fungsi polisi tersebut, maka TNI dalam melaksanakan tugasnya idealnya tidak boleh terlibat dalam lingkungan sipil. Artinya kejahatan yang dilakukan oleh sipil, seperti kriminalitas, menjadi tanggung jawab polisi, Hal ini secara lebih tegas diatur dalam UU No. 2/2002 bab III tentang tugas dan wewenang kepolisian, pasal 13–19, dan juga dalam UU No. 34/2004 pasal 7 mengenai tugas pokok TNI.

Pemilu di Aceh
Sementara itu dalam waktu dekat Aceh akan melaksanakan satu hajat besar demokrasi yaitu pemilu 2009. Pemilu menjadi indikator bagi berjalannya proses demokrasi di dalam suatu negara. Pemilu juga menjadi alat ukur untuk menentukan arah dan masa depan bangsa. Akan tetapi kondisi di ibukota Jakarta, atau di beberapa daerah lain di Indonesia sangatlah berbeda dengan di Aceh. Pemilu di Aceh selalu dalam kondisi yang tidak kondusif sepanjang sejarah pemilu di Indonesia.

Saat pemilu pertama tahun 1955, di Aceh terjadi peristiwa pemberontakan DI/TII yang dipimpin oleh Tgk. Daud Bereueh sehingga pemilu berjalan dalam suasana kacau Berdasarkan catatan KOMPAS, ada tujuh kabupaten yang tidak menggelar pemilu sesuai jadual karena berbagai kendala. Akibatnya ketujuh kabupaten tersebut mengadakan pemilu susulan. Ketujuh kabupaten itu adalah Aceh Besar (15 Oktober 1955), Aceh Timur (10 Oktober dan 15 November 1955), Bengkalis, Riau (16 November 1955), Aceh Barat (23 Oktober, 3 dan 8 November 1955), Pidie (29 September-8 Oktober 1955 secara berturut-turut), Aceh Tengah (3 November 1955), dan Kota Baru, Kalimantan Selatan (6-31 Oktober 1955).

Saat ini setelah adanya MoU Helsinki, 15 Agustus 2005, kondisi demokrasi di Aceh mulai sedikit terbuka dimana proses pemilu sudah tidak dalam kondisi konflik. Namun sayangnya pada masa damai ini peran TNI masih terlihat begitu dominan yang ditandai dengan adanya pembentukan pos–pos baru di kampung-kampung dengan dalih pengamanan pemilu. Sikap TNI yang masih dominan dan mengintervensi ranah sipil menjadi tanda tanya tersendiri dalam penyelesaian hukum dan politik. Harusnya hal ini masuk dalam ranah sipil yang dalam hal ini berada dibawah tanggung jawab kepolisian. Contohnya kasus penangkapan ketua DPW Partai Aceh (PA) Aceh Timur, Tgk Sanusi dimana hal ini seharusnya menjadi tanggung jawab pihak kepolisian dalam melakukan penegakan hukum.

Tumpang tindihnya persoalan tanggung jawab keamanan pemilu antara TNI dan Kepolisian di Aceh ini terus terjadi. Sesuai undang–undang yang bertanggung jawab terhadap segala kegiatan yang terjadi di wilayah sipil, dan tidak menganggu stabilitas serta kedaulatan negara maka hal tersebut menjadi tanggung jawab kepolisian. Termasuk dalam hal ini adalah soal pengamanan pemilu. Namun hal ini tidak terjadi sebagaimana mestinya. Fakta yang kita lihat, TNI sudah terlibat jauh dan aktif dalam upaya pengamanan pemilu, sementara hal ini bisa dilakukan bila atas permohonan pihak kepolisian.

Pembentukan pos–pos TNI untuk proses pengaman pemilu seperti di Aceh Utara, Bireuen dan Bener Meriah merupakan sikap ketidakprofesionalan TNI dalam menjalankan fungsinya serta dianggap sebagai sikap ikut campur TNI dalam urusan politik di Aceh. Dalam mendirikan pos, TNI memilih daerah-daerah yang pernah menjadi basis gerakan perlawanan seperti di Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kecamatan Permata, Kecamatan Syiah Utama di Bener Meriah dan Kecamatan Nisam Antara, Aceh Utara.

Keberadaan pos TNI secara psikologis akan menjadi keriskanan tersendiri bagi penciptaan iklim pemilu yang fair dan sehat di kalangan masyarakat. Hal ini terkait erat dengan keberadaan partai lokal yang dibolehkan oleh UUPA. Faktanya, di dalam beberapa partai politik ada mantan tokoh–tokoh yang yang pernah melakukan perlawanan terhadap Indonesia, dan bahkan ada satu partai yang dinahkodai oleh ex- combatant. Hal ini bisa menjadi pemicu munculnya konflik lagi, karena berdasarkan analisi, partai lokal akan memenangkan pemilu dan menjadi sangat dominan dalam pemilu 2009 ini. Maka pendirian pos dan sikap pro aktif TNI dalam melakukan intervensi terhadap pemuli dipandang sebagai sikap ketidaksukaan TNI bila betul fenomena itu yang akan mewujud nantinya.

Namun demikian, kehadiran pos TNI pada pemilu 2004, pada saat Aceh menjadi Daerah Operasi Militer, memberi catatan signifikan lain. Angka pemilih melonjak drastis dibandingkan dengan pemilu 1999. Kenapa ini bisa terjadi? Hal ini karena TNI melakukan mobilisasi massa yang ditujukan untuk menunjukan kesuksesan operasi yang dilakukan oleh TNI. TNI ingin membangun citra sukses operasi militer.

Kondisi sekarang ini tidak jauh berbeda dengan pemilu pada tahun 2004. Pada tahun 2004 adanya pos TNI di kampung–kampung juga untuk alasan pengamanan pemilu. Pertanyaannya apakah pihak kepolisian tidak mampu melakukan proses pengamanan pemilu sehingga TNI harus turun tangan? Dan kenapa bantuan TNI tersebut mewujud dalam pendirian pos di kampung–kampung? Karena seandainya polisi tidak mampu dan memerlukan bantuan TNI, maka masyarakat wajib mendapat pemberitahuan agar pendirian pos-pos tersebut sebenarnya tidak penting dan hanya akan menciptakan kegelisahan seperti proses pemilu sebelumnya.

Pemilu 2004 harusnya menjadi pembelajaran bagi kita semua, dimana intimidasi atau teror terselubung yang dilakukan oleh TNI telah menggangu proses demokrasi dan tidak membawa hasil yang maksimal. Akankah kita membiarkan kondisi seperti ini terjadi kembali? Maka untuk mewujudkan kondisi pemilu yang kondusif bagi perdamaian maka pemerintah perlu memaksimalkan keberadaan Panitia Pengawas Pemilu (panwaslu) yang baru-baru ini dilantik; selanjutnya adalah mengembalikan TNI kepada fungsi profesionalnya yaitu fungsi pertahanan dan meninggalkan pos-pos pengamanan yang terdapat dikampung–kampung. Janganlah membuat rakyat terus gerah dan gelisah di tengah perdamaian yang belum mampu memberikan rasa keadilan kepada mereka.[]

Hendra Saputra | Staf Investigasi KONTRAS Aceh

Tulisan ini pernah di muat di
http://id.acehinstitute.org