23 Sept 2007

Jalan Panjang untuk mencari Keadilan



Tema HAM yang dulunya merupakan mantra yang diharamkan, justru saat ini menjadi agenda formal negara. Perangkat penegakan HAM mulai diproduksi. Tema HAM mulai menjadi wacana terbuka diruang publik dan tercantum di dokumen-dokumen resmi Negara. Sebenarnya hal ini seharusnya sudah merupakan tanggung jawab negara sejak negara itu berdiri. Namun ituah kenyataannya, hal ini baru kembali menjadi wacana kembali setelah beberapa pelanggaran HAM diproses ke tingkat internasional.

Pada tahun 2005 lalu Pemerintah telah meratifikasi dua konvenan utama Hak Asasi Manusia (HAM), yaitu Konvenan Hak sipil dan Politik (SIPOL) dan Konvenan Hak Ekonomi Sosial dan Budaya (EKOSOB). Ini diangap merupakan langkah positif yang ditempuh oleh pemerintah dan kalangan pro demokrasi dengan senang menyambutnya berharap jalan menuju penuntasan kasus-kasus pelangggaran HAM berjalan sesuai dengan keinginan untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM. Namun kenyataan pahit harus ditelan. Pada kenyataannya sampai hari ini pemerintah masih tidak berniat menyelesaikan kasus-kasus besar pelanggaran HAM SIPOL bahkan pemerintah cenderung masih melakukan praktek Impunity atau pengampunan kepada para pelaku pelanggar HAM.

Kasus pelanggaran HAM di bidang Sipil dan Politik (SIPOL) mandek dan tidak pernah mencapai rasa keadilan bagi para korban pelanggaran HAM. Harapan yang ditanamkan pada kedua konvensi tersebut ternyata tetap saja tidak membuat negara untuk mampu menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM. Begitu juga dengan kasus pelanggaran HAM di bidang Ekonomi, Sosial dan Budaya (EKOSOB). Kasus perburuhan tidak kunjung selesai, petani yang dirampas tanahnya juga semakin meningkat, dan biaya pendidikan juga membuat orang miskin tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Untuk itu mari kita lihat beberapa pelanggaran HAM yang sempat terjadi di Indonesia. Di Indonesia ada banyak kasus pelanggaran HAM SIPOL, kasus besar yang sampai saat ini belum terselesaikan yaitu :

Tragedi 1965, yang sampai saat ini kasusnya tidak tersentuh hukum. Para korban sendiri telah berupaya mencari keadilan dengan berbagai cara salah satunya dengan melakukan clas action terhadap Presiden (Pada masa pemerintahan Megawati) dan presiden sebelumnya namun hasilnya ditolak.

Kasus Tanjung Priok, saat ini kasusnya telah memasuki gugatan kasasi ke MA atas putusan Pengadilan Negeri Pusat yang menolak konpensasi dan sampai saat ini masih menuggu hasil dari putusan MA.

Talangsari, saat ini kasus dalam proses penyelidikan Komnas HAM.

Kasus Trisakti Semangi I dan II (TTS) kasusnya masih mandek di Kejaksaan Agung paska keluarnya rekomendasi DPR yang menyatakan dalam kasus penembakan mahasiswa tidak ada unsur pelanggaran HAM berat. Sementara KOMNAS HAM menyatakan ada unsur pelanggran HAM berat dalam kasus TTS.

Kasus Kerusuhan Mei 1998, masih mandek di Jaksa Agung paksa rekomendasi tidak ada pelanggaran HAM berat pada kasus TTS.

Kasus penculikan 97/98 dan juga mengalami hal yang sama saat sesama lembaga negara proses penuntasan kasus penculikan aktivis 1997-1998 yang saat ini sedang hangat dibicarakan, untuk menindaklanjutin penemuan KOMNAS yang merekomendasikan agar dilakukan penyidikan. KOMNAS HAM , MA, DPR dan presiden saling lempar bola siapa yang berwenang memproses selanjutnya paskah putusan KOMNAS. sejauh ini tetap saja kepastian hukum bahkan ke-13 korban hilang sampai saat ini belum kembali dan nasibnya belum juga didapatkan kejelasannya.

Pembunuhan Munir, kasus yang sedang hangat-hangatnya dibicarakan perkembangan terakhir Polri telah menetapkan 2 tersangka baru dari PT.Garuda setelah MA membebaskan Polycarpus dari dakwaan.

Sedangkan untuk kasus pelanggaran HAM di bidang EKOSOB lebih banyak lagi. Hampir setiap hari berita-berita di media massa mengungkapkan tentang pelanggaran-pelanggaran di bidang ini. Sebut saja, sengketa tanah yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia, atau makin meningkatnya angka bunuh diri pada anak usia sekolah karena tidak mampu membayar uang sekolahnya. Atau misalnya kasus PHK yang tidak sesuai aturan yang dilakukan oleh sejumlah perusahaan kepada buruhnya. Hal ini belum mampu ditangani oleh pemerintah sampai saat ini, bahkan ada kecenderungan kasus-kasus ini meningkat.

Mekanisme Penyelesaian di bidang SIPOL

Sejauh ini telah ditetapkan berbagai mekanisme penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia yang tertuang dalam produk perundang-undangan yang ada, yaitu pertama, lewat dibentuknya satu Komisi kebenaran dan rekonsiliasi (KKR) dan perangkat UU nya yang bertujuan untuk pengusutan pelanggaran HAM rezim terdahulu dan rekonsiliasi untuk mengakhiri konflik KKR sendiri telah dibubarkan karena diangap masih konroversi . Kedua, pengadilan HAM. Tidak gampang untuk dapat membawa kasus pelanggaran HAM ke pengadilan HAM karena diperlukan berkas-berkas dan saksi-saksi hidup yang untuk beberapa kasus sudah sangat sulit dipenuhi. Namun tetap saja salah satu contoh Kasus Tanjung Priok yang diselesaikan lewat pengadilam HAM putusan yang ada sangat menggecewakan korban, tidak ada pelaku yang di tahan lalu korban dan keluarga juga tidak mendapatkan hak-haknya. Ketiga, ada mekanisme Internasional yang ada yaitu, Pengadilan kejahatan Internasional (ICC). ICC sendiri hanya dapat memproses kasus diatas tahun 2000, lalu bagaimana dengan kasus masa lalu, Namun ketiga mekanisme yang ada ini juga belum ada yang dapat menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu dan saat ini yang memberikan rasa keadilan bagi korban dan keluarga korban berupa hak, baik hak mengetahui tentang kasus, apa yang terjadi saat itu, hak atas keadilan peroses pengadilan siapa pelaku dan hak pemulihan rehabilitasi/reparasi/konpensasi.

Dari kedua mekanisme yang ada korban dan keluarga korban sendiri menanggapi pesimis akan adanya keadilan, sangat kecil kemungkinan penyelesaaian kasus-kasus Pelanggaran HAM berat . Bukan saja karena mekanisme yang ada memiliki kelemahan dan kekurangan namun juga karena pemimpin negeri ini juga tidak berniat untuk menyelesaikan. hampir semua kasus pelanggaran HAM SIPOL terhenti proses penyidikan karena tidakan saling lempar antara lembaga yang berwenang menyelesaikan.

Mekanisme Penyelesaian di bidang EKOSOB

Dengan belum dapat diselesaikannya atau bahkan mekanisme penyelesaian yang dilakukan oleh negara ternyata tidak berpihak terhadap korban, maka jelas pemerintah belum mampu menyelesaikan kasus ini secara adil. Mekanisme yang biasanya dilakukan adalah melalui pengadilan sesuai dengan hukum di Indonesia. Sedangkan untuk kasus perburuhan dilakukan melalui Pengadilan Hubungan Industrial.

Tetapi kedua mekanisme itupun tetap tidak membawa keadilan bagi korban. Kekecewaan sering kali oleh korban. Pengadilan yang seharusnya menjadi langkah terakhir untuk mencapai sebuah keadilan ternyata juga telah diintervensi oleh kepentingan-kepentingan politik agar pengadilan yang berjalan lebih berpihak pada pelaku. Negara yang seharusnya melindungi hak-hak korban ternyata sampai saat ini juga lebih melindungi kepentingan para pemilik modal atau orang yang dianggap sebagai pelaku.

Perjuangan Politik adalah jalan menuju keadilan

Ironis memang ditengah semangat menegakkan demokrasi yang digembor-gemorkan Pemerintah, upaya penegakan dan perlindungan Hak Asasi Manusia secara langsung berhadapan dengan sikap dingin dan acuh negara. Padahal Seluruh aspek pelanggaran terhadap Hak-hak Sipil Politik (SIPOL) akan berhubungan dengan pelanggaran terhadap Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (EKOSOB), sehingga membentuk jaringan pelanggaran HAM yang kian kompleks, tersistematis dan memberikan dampak yang meluas. Namun lagi-lagi kita harus gigit jari entah untuk yang sekian kali sejak proses arus reformasi bergulir seiring dengan bergantinya pemimpin Negeri ini. Perubahan yang diharapkan tidak kunjung ada. Berharap pemerintah yang ada sekarang akan memberikan rasa keadilan bagi penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM SIPOL-EKOSOB maupun perubahan-perubahan yang lebih baik atas kehidupan disetiap tatanan Politik, hukum, ekonomi dan budaya sosial, rasanya tidak akan mungkin! Ibarat kata iklan Nutri Sarinya Josua :”.. Masak jeruk minum jeruk...” : “pelaku mengadili pelaku”(Perampas Mengembalikan Rampasannya) ????

Yang penting untuk diingat dan menjadi pembelajaran adalah bahwa Transisi politik yang terjadi di Indonesia menghasilkan situasi yang hampir sama atau serupa di Negara-negara lain. Rezim diktatorial dengan topangan meliterisme berganti rupa menjadi rezim elektoral, para pelaku politik lama beserta aparaturnya masih tetap dominan bahkan memimpin dalam sistem politik yang baru. Lihat saja hasil dari beberapa PILKADAL di Daerah-daerah bakal-calon maupun yang akhirnya terpilih adalah mantan tentara atau pejabat yang telah pensiun dan ini konsolidasi kekuatan lama hinga sampai didesa-desa, dan mereka berhasil membangun kembali mereka yang sempat terganggu saat bergulirnya reformasi. Pandangan ini didasarkan pada kenyataan munculnya berbagai kebijakan ekonomi dan publik yang anti rakyat dan melanggar HAM seperti, lapangan pekerjaan yang sedikit dengan angkatan kerja yang berjubel, upah buruh yang rendah, petani yang tak bertanah dan dengan segala problematikanya, pedangang digusur dan melonjaknya harga kebutuhan pokok akibat kenaikkan BBM yang secara berkala dilakukan, Belum lagi kesehatan dan pendidikan yang semakin tidak terjangkau oleh rakyat, maka yang terjadi adalah pemiskinan yang secara sistematis dan terus berkelanjutan tanpa ada yang mampu menghentikannya.

Artinya memang kita tidak dapat berharap pada pemimpin atau calon pemimpin di daerah, yang sebenarnya tidak memiliki kepentingan untuk membela rakyat. Calon pemimpin atau pemimpin di daerah tersebut tidak dapat dibilang mewakili rakyat di daerahnya masing-masing, karena jelas kebijakan-kebijakan yang mereka berlakukan ternyata tidak berpihak kepada rakyat. Lalu apakah kita masih akan mempercayai pemimpin atau calon pemimpin yang memang selama hidupnya tidak pernah membela kepentingan rakyat? Dan apa yang harus dilakukan oleh rakyat sebagai korban dari kebijakan-kebijakan pemerintah pusat dan daerah?

Bangun organisasi-organisasi Perlawanan

Sejauh ini yang dapat dilakukan adalah menjalani proses perjuangan yang telah dilakukan selama ini dan mulai membangun kekuatan di segala sektor (buruh, petani, mahasiswa, pedagang, masyarakat dll) Dengan cara membangun organisasi-organisasi perlawanan secara sistematis dan terorganisir yang memiliki visi dan misi perlawanan terhadap bentuk penindasan.

Seperti apa organisasi perlawanan itu? Organisasi perlawanan adalah organisasi yang fondasinya kuat secara ekonomi dan juga kuat dalam pemahaman teori-teori demokrasi, sosialisme, politik, hukum dan HAM dan lain-lain. Sehinga pemahaman anggota tidak hanya bicara sekretarian (kasus sendiri/kepentingan sektornya sendiri) jadi harus dibangun solidaritas antar sektor-sektor yang berbeda, misalnya buruh bersolidaritas terhadap kasus Mei karena sama-sama korban pelanggaran HAM.

Membangun organisasi perlawanan tidak mudah butuh kesadaran politik maka penting untuk membangun kesadaran politik, ini dapat dibangun dengan adanya pendidikan-pendidikan politik yang dilakukan dalam organisasi. Jadi bukan hanya sekedar kelompok diskusi atau aliansi aksi yang hanya bertemu saat adanya momentum-momentum tertentu. Namun kelompok aksi adalah Emberio dari lahirnya organisaasi perlawanan yang berkesadaran politik dan idiologi kerakyatan..

Membandingkan Sistem Pendidikan Indonesia dan Kuba

university_of_havana.jpgMembandingkan Kuba dengan Indonesia tentu terdapat banyak perbedaan, baik itu yang fundamental (pokok) maupun yang komplementer. Kuba yang sosialistik (karena di bawah kekuasaan Partai Komunis) tentunya berbeda dari Indonesia yang baru saja melewati satu fase pemerintahan otoriter dan pro-pasar. Karenanya sistem pendidikan kedua negara ini juga berbeda secara fundamental.

Sehingga alangkah tidak layak kiranya jika tiba-tiba sistem pendidikan Kuba diterapkan di Indonesia tanpa memperhatikan aspek kesejarahan dan kenyataan faktual di Indonesia. Maka yang paling mungkin dilakukan adalah menemukan relevansi yang kira-kira bisa menjadi pencerahan terhadap sistem pendidikan Indonesia.

Dari Sosialisme ke Neoliberalisme
Indonesia di era Soekarno (Orde Lama), sebagaimana Kuba sekarang, merupakan negara yang sarat dengan cita-cita sosialisme. Cita-cita sosialisme ini termasuk juga dalam bidang pendidikan. Statuta Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 1951 sangat tegas menyatakan bahwa tujuan UGM adalah menyokong sosialisme pendidikan. Namun pada tahun 1992, di bawah kekuasaan Orde Baru, statuta ini diganti dengan banyak perubahan pada isinya di mana salah satu perubahannya adalah menghilangkan pasal mengenai tujuan menyokong sosialisme pendidikan Indonesia.

Indonesia pada era tersebut sangat mendukung pendidikan sebagai satu alat akselarasi masyarakat menuju masyarakat adil dan makmur sesuai cita-cita UUD 1945. Indonesia bahkan mampu mengekspor guru ke negara tetangga, menyekolahkan ribuan mahasiswa ke luar negeri, dan menyebarkan mahasiswa-mahasiswa ke seluruh penjuru negeri untuk mengatasi buta huruf. Tahun 1960-an terjadi peningkatan luar biasa perguruan-perguruan tinggi yang sekaligus berarti peningkatan jumlah mahasiswa dan pelajar di seluruh negeri. Tenaga-tenaga pengajar diupah dengan layak, bahkan menjadi primadona pekerjaan bagi rakyat. Jargon “study, work, rifle” atau “belajar, berkarya, dan senjata” yang dipakai Kuba sekarang merupakan satu jargon yang juga dipakai oleh beberapa organisasi mahasiswa dan pelajar pada era tersebut. Semangat antikolonialisme setelah lepas dari kolonialisme Belanda dan Jepang diejawantahkan dengan semangat membangun sosialisme, termasuk dalam hal pendidikan. Tidak ada halangan ekonomis yang merintangi seseorang untuk belajar di perguruan tinggi atau sekolah. Diskriminasi dianggap sebagai tindakan kolonialis (seperti dilakukan kolonial Belanda).

Rezim berganti, ideologi dan politik pendidikan pun berganti. Awalnya perubahan ideologi dan politik ini belum berubah tajam, sampai suatu hari terjadi krisis minyak dunia pada awal 1980-an, yang membuat negara mengetatkan anggaran. Ketergantungan pada ekspor minyak seketika mendatangkan malapetaka karena harga minyak turun drastis di kala utang luar negeri juga jatuh tempo. Anggaran untuk publik diketatkan termasuk di bidang pendidikan. Seketika rakyat masuk dalam sistem pendidikan pasar yang memperbesar ketimpangan si kaya dan si miskin. Gaji guru tidak lagi mampu mendukung kebutuhan minimal untuk mengajar dengan tekun dan baik. Ekstensifikasi pendidikan berjalan lambat karena keterbatasan anggaran.

Ketidakpuasan menggejala pada rakyat, karena akses terhadap pendidikan yang makin berkurang. Sekolah dan perguruan tinggi swasta menggejala karena keterbatasan pemerintah untuk menyediakan sekolah-sekolah baru. Ekstensifikasi pasar ini kemudian diimbangi oleh Orde Baru dengan proses indoktrinasi. Peng-asastunggal-an ideologi Pancasila melalui pengajaran Pancasila dari bangku sekolah dasar sampai perguruan tinggi, penataran P4 bagi pegawai negeri sipil dan militer, pelarangan ideologi-ideologi tertentu untuk dipelajari, pembelokan sejarah, dan banyak doktrinasi lain adalah contoh-contoh proses tersebut. Pada era ini pula mahasiswa dibungkam dengan pembubaran dewan-dewan mahasiswa dan pelarangan mahasiswa berpolitik melalui kebijakan NKK/ BKK.

Dalam sistem pendidikan yang ada, berkembanglah ideologi pasar sebagai konsekuensi Indonesia berada dalam peta kapitalisme global. Pendidikan direndahkan posisinya sebagai alat elevasi sosial untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Ilmu direndahkan menjadi deretan angka-angka indeks prestasi (IP). Akses masuk semakin terbatas karena formasi sosial tidak memungkinkan warga masyarakat kebanyakan (miskin) menginjak bangku sekolah yang lebih tinggi. Kecenderungan mahasiswa berasal dari kalangan menengah ke atas terus meningkat dari tahun ke tahun. Penelitian majalah Balairung UGM pada tahun 2000 membuktikan terjadi tren penurunan anak buruh, petani, dan anak guru yang menginjak bangku kuliah di UGM.

Karena pada saat yang sama indoktrinasi dari negara juga berlangsung, muncul kritik-kritik dari kalangan pengamat pendidikan yang kritis namun liberal yang memandang terjadinya paradoks dalam dunia pendidikan karena sama sekali tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Banyak muncul ketidakpuasan dan perlawanan dari dalam kalangan akademisi pendidikan terhadap intervensi negara dalam kurikulum pendidikan. Ketidakpuasan muncul karena mereka menganggap tidak efisien.

Ketidakpuasan dan perlawanan dari dalam kampus ini menyemai bibit perlawanan mahasiswa. Pada tahun 1994 misalnya berdiri Dewan Mahasiswa UGM yang tegas menolak korporatisme negara terhadap kampus. Langsung atau tidak langsung, masifnya demonstrasi mahasiswa pada tahun 1998 merupakan imbas dari kebijakan pendidikan yang korporatis dan tidak demokratis di perguruan-perguruan tinggi.

“Reformasi 1998” memanglah pas disebut sebagai reformasi. Diakui atau tidak, momen ini merupakan awal perubahan bentuk kapitalisme di Indonesia. Ditandatanganinya letter of intents antara pemerintah Indonesia dan IMF menjadi legitimasi formal bagi kapitalisme untuk mengembangkan neoliberalisme yang berpijak pada tiga program utama, yakni deregulasi ekonomi, liberalisasi, dan privatisasi. Di bidang pendidikan, pada tahun 1999, dengan dana dari Bank Dunia, ditandatangani kesepakatan melakukan pilot project “Otonomi Kampus” pada empat perguruan tinggi negeri utama di Indonesia, yaitu Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Institut Pertanian Bogor (IPB). Beramai-ramai akademisi yang kabarnya “reformis” dari empat perguruan tinggi ini mendukung program baru ini. Inilah antitesa dari sistem pendidikan Orde Baru yang mengekang perguruan tinggi melalui korporatisme birokrasi dan kurikulum. Korporatisasi yang berkedok “otonomi perguruan tinggi” dipandang sebagai suatu kemajuan, lebih baik, dan tentunya lebih menjamin prospek yang bagus bagi mereka, misalnya dalam hal fasilitas dan tunjangan sebagai tenaga pengajar. Padahal, inilah era neoliberalisme!

Dari Egalitarianisme ke Militerisme

Orde Lama merupakan satu fase yang mirip dengan fase pascarevolusi demokratik di Prancis pada 1789. Saat itu di mana-mana muncul semangat egalitarianisme yang mengejawantah dalam masyarakat. Panggilan-panggilan terhadap orang, baik yang sudah berumur maupun belum, disamaratakan dengan sebutan “bung”. “Bung” merupakan pengganti sebutan orang yang tidak mengenal strata kelas, status, dan umur. Semangat ini merupakan refleksi masyarakat terhadap kolonialisme yang membuat masyarakat berkasta-kasta berdasarkan warna kulit, agama, dan asal daerah. Inilah orde di mana semua orang merasa sejajar, tanpa dibedakan warna kulit, keturunan, agama, dan sebagainya.

Begitu juga dalam dunia pendidikan. Orde Lama berusaha membangun masyarakat sipil yang kuat, yang berdiri di atas demokrasi, kesamaan hak dan kewajiban antara sesama warga negara termasuk dalam bidang pendidikan. Inilah amanat UUD 1945 yang menyebutkan salah satu cita-cita pembangunan nasional adalah mencerdaskan bangsa.

Di dalam kampus muncul kebebasan akademis yang luar biasa, ditandai dengan fragmentasi politik yang begitu hebat di kalangan mahasiswa. Mahasiswa bebas beroroganisasi sesuai dengan pilihan atau keinginannya. Kebebasan berpendapat, memang sempat muncul juga pembredelan pers oleh Soekarno, namun relatif lebih baik dibandingkan masa Orde Baru yang pada suatu waktu (setelah peristiwa demonstrasi mahasiswa 1978) pernah membredel 15 media massa sekaligus. Inilah salah satu era keemasan bagi gagasan dan ilmu pengetahuan di Indonesia.

Sebaliknya, di era Orde Baru kebebasan ini sedikit demi sedikit direnggut sampai tak tersisa sama sekali. Membaca buku tertentu bahkan dianggap sebagai tindakan kriminal. Kebebasan berorganisasi dikooptasi dengan adanya organisasi-organisasi yang sudah korporatis pada kekuasaan, sehingga menganalisasi politik mahasiswa. Kebebasan akademis dikekang dengan perlunya izin kegiatan dari pihak yang berwenang.

Peristiwa meninggalnya Wahyu Hidayat, praja STPDN, karena kekejaman para seniornya pada tahun 2004 merupakan wujud dari masuknya warna militerisme pada pendidikan di Indonesia. Hal ini adalah bentuk lain dari korporatisme pendidikan yang terjadi di Indonesia. Lembaga pendidikan semacam ini lahir dari rahim rezim militer Orde Baru yang masuk ke ranah sipil. Di perguruan-perguruan tinggi swasta dan negeri, hal ini mewujud dengan adanya resimen mahasiswa. Resimen mahasiswa (menwa) merupakan salah satu unit kegiatan mahasiswa yang berafiliasi langsung ke institusi-institusi militer seperti kodam.

Di dalam kelas ataupun birokrasinya, reproduksi sistem ini juga berlangsung. Dosen seringkali dipandang oleh mahasiswa sebagai orang yang ditakuti, berkuasa. Birokrasi perguruan tinggi berkembang begitu kuat tanpa adanya kebebasan berserikat bagi civitas-civitas akademika, kecuali terbatas pada mahasiswa. Namun, bagi karyawan-karyawan nonpengajar di perguruan tinggi, seringkali posisi mereka sangat lemah secara politik dan hukum, seperti halnya kelas pekerja lain di Indonesia. Penelitian pers mahasiswa Mahkamah Fakultas Hukum UGM pada tahun 2000 mengungkapkan sekitar seperempat karyawan UGM merupakan karyawan honorer dengan status tidak jelas dan upah tidak sesuai dengan upah minimum regional (sekarang upah minimum provinsi) yang berlaku.

Seleksi Kelas dalam Pendidikan Neoliberal
Masuk dalam era neoliberal, seleksi kelas dalam mengakses pendidikan semakin menguat. Ditambah lagi dengan lahirnya UU Sistem Pendidikan Nasional yang baru, yang telah melegalkan pengalihan tanggung jawab negara kepada masyarakat (baca masyarakat pemilik uang). Berbagai kampus, tidak terbatas pada empat kampus pilot project mencari sumber pendanaan baru termasuk dengan memungut lebih untuk mahasiswa-mahasiswa baru. Harian Kompas (18/6/2003) mengungkapkan munculnya model baru penerimaan mahasiswa seperti dengan menambah kuota 10% hingga 20% dari formasi mahasiswa baru jalur reguler dengan tarif mahal, bahkan mencapai Rp 150 juta.

Jauh hari sebelumnya, Republika (16/8/2002) menulis, 11,7 juta anak tidak pernah sekolah dan putus sekolah (berumur 10 - 14 tahun) dan 5,2 juta anak usia sekolah tidak mampu membaca, menulis, dan berhitung. Tentunya angka putus sekolah ini semakin jadi tren seperti juga tren angka pengangguran yang terus meningkat yang diakibatkan salah satunya oleh angka putus sekolah karena alasan ekonomi. Republika menyajikan data bahwa hanya 11% tamatan SLTA yang bisa melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi.

Situasi ini menunjukkan tren angkatan kerja Indonesia pada saat ini bukanlah well-educated dan skilled karena sebagian besar hanyalah lulusan SLTA atau lebih rendah. Selain itu, ternyata lulusan perguruan tinggi Indonesia pun tidak cukup berkualitas. Jacob Nuwa Wea (Menaker) seperti dikutip detik.com (16/4/2002) mengatakan 30% pasar tenaga kerja Indonesia diisi tenaga kerja asing (ekspatriat). Pernyataan ini menandaskan bahwa link and match yang diinginkan kapitalisme dalam sistem pendidikan Indonesia belumlah sepenuhnya terwujud.

Anarkisme sistem pendidikan di bawah neoliberalisme menempatkan rakyat sebagai komoditas pendidikan, bukan berfungsi sebagai sarana bagi rakyat untuk menjadi lebih baik: link and match dengan keadaan. Setelah pencanangan Badan Hukum Milik Negara (BHMN) atau korporatisasi perguruan tinggi, perguruan-perguruan tinggi tersebut berlomba-lomba membuka jalur penerimaan baru yang tak mengindahkan saringan akademik. Terjadi lonjakan kuota mahasiswa baru yang diterima di berbagai perguruan tinggi negeri sebagai konsekuensi dari kebijakan ini. Kuota ini tentunya tidak direncanakan secara nasional, terintegrasi dengan kebijakan tenaga kerja, namun tidak lain hanyalah cara untuk mendapatkan dana tambahan bagi perguruan-perguruan tinggi tersebut.

Pelajaran dari Kuba
Dari keadaan pendidikan Indonesia yang seperti itu, ada beberapa hal yang bisa dipelajari dari sistem pendidikan Kuba (Ministerio de EducaciĆ³n Superior, 2001). Terdapat empat hal berikut yang bisa dipelajari. Pertama, pendidikan gratis untuk seluruh warga negara. Pemerintah Kuba memandang pendidikan merupakan bagian terpenting dalam mempertahankan revolusi Kuba, di mana rakyat mempunyai hak yang sama dalam mengakses pendidikan dan negara berkewajiban menyelenggarakan pendidikan. Akses yang sama ini diwujudkan dalam bentuk pendidikan gratis bagi seluruh warga negara. Sehingga tidak mengherankan, Kuba sekarang menempati posisi teratas di dunia untuk angka melek huruf dan angka rata-rata sekolah per kapita.

Kedua, jaminan terhadap persamaan hak ini diwujudkan dengan pendidikan diselenggarakan oleh negara sehingga bisa mewujudkan angka perbandingan guru dan pelajar yang luar biasa, yaitu satu tenaga pengajar untuk 13,6 pelajar. Pemerintah Kuba membelanjakan US$ 1,585 miliar atau setara Rp 13,4725 triliun per tahun untuk pendidikan dengan penduduk 11 juta (bandingkan Indonesia yang hanya membelanjakan Rp 11,5528 triliun pada tahun anggaran 2002 dengan penduduk 220 juta).

Ketiga, dengan adanya penyelenggaraan oleh negara, terdapat sistem yang terintegrasi antara orang-orang yang sedang belajar dengan kebutuhan tenaga kerja dan lapangan pekerjaan yang tersedia di seluruh negeri. Dengan ini, persoalan link and match menjadi terpecahkan dengan sistem pendidikan yang terintegrasi secara nasional. Dari sekolah menengah, seorang warga negara dipersiapkan untuk memilih mengikuti pra-universitas atau pendidikan teknisi dan profesional yang akan mengarahkan pada dunia kerja. Dari pra-universitas bisa melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi untuk memperdalam bidang akademik yang ingin diperdalam atau menjadi tenaga pengajar.

Keempat, dengan menggunakan seleksi akademis itu, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi benar-benar berada di tangan yang tepat, dengan kompetensi akademis yang benar-benar diarahkan oleh negara. Lulusan-lulusan perguruan tinggi terbaik diarahkan masuk ke 211 lembaga-lembaga penelitian ilmu pengetahuan dan teknologi dari berbagai kajian yang tersebar di seluruh negeri.













































Gerakan Mahasiswa Menuju Perubahan yang Sesungguhnya




forkot.jpgBabak demi babak gerakan mahasiswa telah mengisi beberapa sejarah gerakan beserta konflik politik Indonesia. Sebagian dari gerakan tersebut seperti generasi 66 dan generasi 98 mampu menciptakan perubahan sampai pada perubahan penguasa (ruler), sebagian lainnya memang tidak mampu mencapai taraf tersebut tetapi layak disebut sebagai generasi gerakan karena mampu meningkatkan eskalasi konflik dengan penguasa dengan mobilisasi massa sehingga harus direpresif dengan keras oleh penguasa. Tetapi dalam dasawarsa ini gerakan mahasiswa bukan lagi menjadi gerakan utama dalam gerakan perlawanan terhadap penguasa. Setiap golongan diferensiasi masyarakat yang terkena imbas kebijakan pemerintah yang tidak populis sudah mampu untuk mengorganisasikan diri untuk melawan pemerintah. Korban Lumpur panas Sidoarjo, Petani Pasuruan yang ditembak dengan brutal oleh TNI, Masyarakat Balong, Jepara yang menolak PLTN, masyarakat perkotaan yang digusur rumahnya hingga pedagang kaki lima yang "ditertibkan" hampir di seluruh kota di Indonesia.

Gerakan perlawanan tersebut memang parsial yang terkait pada isu-isu yang spesifik dan cenderung apolitis. Tetapi kontinuitas kebijakan penguasa pro neoliberalisme yang menindas rakyat niscaya akan meningkatkan kesadaran rakyat untuk melawan kebijakan dengan dasar stratifikasi penindasan ekonomi politik (klas sosial) bukan lagi diferensiasi golongan yang sempit. Konsistensi gerakan jelas diperlukan dalam perjuangan. Tetapi untuk sampai kematangan, setiap sektor perlawanan memerlukan kontinuitas gerakan menuju persatuan masing-masing sektor. Persatuan kelompok masyarakat berdasarkan stratifikasi sosial sejenis akan menemukan inti yang lebih fundamental dalam gerakan perlawanan. Contoh yang terbaru gerakan buruh mampu melewati tahapan gerakan parsial dan berhasil membentuk perlawanan buruh nasional, yaitu Aliansi Buruh Menggugat (ABM) dalam melawan kebijakan neoliberalisme dalam bidang ketengakerjaan (Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan, UU Penyelesaian Hubungan Industrial dan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Pesangon) dan gerakan petani juga bersiap menuju persatuan gerakan dengan memperjuangkan pembaharuan agraria dalam melawan neoliberalisme dalam bidang pertanian.

Kemajuan gerakan buruh dan petani di Indonesia saat ini ternyata tidak dialami oleh gerakan mahasiswa saat ini. Gerakan mahasiswa semakin mengecil, terpecah-pecah, dan seperti kehilangan panggung kejayaan paska menumbangkan Suharto. Hingga saat ini masih banyak organisasi mahasiswa terilusi oleh gerakan model 98 dan mendambakannya kembali terjadi. Pada dasarnya Gerakan Mahasiswa 98 bukanlah gerakan mahasiswa yang cukup progresif. Generasi 98 kembali mengulang kesalahan generasi 66 karena pertama, merupakan gerakan moral non partisan yang tidak memiliki visi yang jelas paska perubahan dan tidak menyelesaikan perlawanan; Kedua, eksklusivitas gerakan dengan menolak bergabung dengan sektor perlawanan lainnya; Ketiga, tidak ada kematangan gerakan berdasarkan ideologi perjuangan.

Generasi 98 tidak memiliki tujuan perubahan yang jelas atas Indonesia paska Suharto, beserta rumusan gerakan untuk mencapainya. Sehingga kegagapan pun terjadi ketika tuntutan utama turunkan Suharto sudah terpenuhi. Pada generasi 66 hal ini terjadi ketika Simposium "Kebangkitan Semangat 66 Menjelajah Trace Baru" yang diselengarakan di UI pada 6-9 Mei 1966 yang konon katanya simposium terbesar yang pernah dilakukan oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) sebagai inti dari angkatan 66 serta Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI) ternyata tidak melahirkan suatu platform perjuangan mahasiswa ataupun platform Indonesia Paska Soekarno. Istilah Orba sendiri baru lahir pada Tri Ubaya Cakti yaitu doktrin perjuangan Angkata Darat (AD) beserta platform Indonesia Paska Soekarno yang disimpulkan pada Seminar AD II tanggal 25-31 Agustus 1966. Generasi 98 dan 66 lebih memilih untuk menjadi gerakan moral non politik partisan.

Masih segar di ingatan kita sekitar Mei 1998, Gedung MPR diduduki hanya oleh manusia yang berjaket almamater karena secara nasional generasi 98 adalah gerakan yang menolak bergabung dengan gerakan perlawanan rakyat lainnya (buruh, tani dan kaum miskin perkotaan). Walaupun ada sebagian kecil kota yang sudah membangun gerakan multi sektoral. Sangat mustahil suatu gerakan revolusioner tidak dipimpin oleh pemimpin revolusioner. Sehingga radikaliasasi massa pada bulan Mei 98 menjadi kontraproduktif dengan hanya menghasilkan kerusuhan di banyak kota di Indonesia.

Di luar permasalahan internal ada beberapa kondisi obyektif pada tahun 1998 yang memaksa mahasiswa untuk kembali mengulangi kesalahan 1966 yaitu belenggu apolitisme kampus semenjak 1978 memaksa mahasiswa untuk tidak berorganisasi secara progresif sehingga koneksitas gerakan antar generasi juga tidak terjadi. Walaupun pertengahan 1997 kondisi revolusioner sudah tampak dengan krisis ekonomi beserta makin meningkatnya represi militer tetapi kematangan gerakan dengan evaluasi atas gerakan mahasiswa sebelumnya serta pembangunan ideologi gerakan sangat sulit dilakukan dalam waktu singkat (banyak organisasi tersebut baru lahir sekitar pertengahan 90-an). Selain itu represi yang begitu hebat dari rezim militer Suharto memaksa mahasiswa untuk mengambil tindakan-tindakan cepat dan cenderung reaksioner yaitu melawan dengan aksi demontrasi, sehingga upaya untuk pembacaan lebih matang akan situasi ekonomi politik Indonesia beserta perumusan strategi taktik gerakan tidak dilakukan. Efeknya kemudian, Indonesia diambil alih oleh Reformis Borjuis, tetapi persatuan mahasiswa juga tidak terwujud.

Baru mulai paska 98 lahir beberapa organisasi mahasiswa nasional progresif yang terbentuk atas persatuan komite-komite aksi yang tersebar di kota-kota di Indonesia seperti Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), Front Mahasiswa Nasional (FMN), Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) dan sebagainya. Di beberapa kota organisasi-organisasi tersebut dapat mengimbangi gerakan mahasiswa yang dipelihara selama rezim Orba berkuasa. Tetapi hanya berjarak tahunan beberapa organisasi mulai mengalami friksi internal dan kemudian terpecah-pecah kembali.

Perpecahan gerakan mahasiswa progresif merupakan sejarah yang sudah terjadi dan tidak perlu disesali dengan percuma. Ada banyak alasan kenapa organ-organ itu memisahkan diri. Tetapi perpecahan itu yang akan membuktikan bahwa gerakan mahasiswa kiri bukanlah gerakan yang akan mempertahankan simbol atau organisasi dan melupakan tujuan dan prinsip-prinsip perjuangan. Friksi dan perpecahan adalah bukti sekaligus ujian dalam dinamisasi gerakan mahasiswa progresif dalam wacana tentang gerakan dan perubahan. Dinamisasi tersebut memang anti klimaks, tetapi yang tidak bisa dihindari dari dinamisasi organ-organ tersebut adalah konsolidasi kembali dilakukan paska perpecahan. Karena konsolidasi adalah kebutuhan bersama organisasi mahasiswa yang mengaku progresif untuk menuntaskan perubahan.

Kebutuhan akan konsolidasi! bukan hanya demi pembesaran gerakan tetapi juga ujian bagi organisasi progresif yang demokratis dalam menjalankan prinsip-prinsip dan mekanisme organisasi. Perbedaan pemahaman dan wacana atas sebuah gerakan progresif dapat dijembatani dalam diskusi dan perdebatan dalam sebuah niatan konsolidasi gerakan. Konsolidasi juga dapat melahirkan sebuah organisasi yang mapan bukan hanya mampu melakukan aksi massa tetapi juga mampu melakukan pendidikan dan propanda dalam perjuangan yang terintegrasi dengan rakyat pekerja dalam perjuangan kaum buruh. Konsolidasi juga merupakan bukti kematangan sebuah gerakan mahasiswa dalam bekal menuju unifikasi gerakan rakyat dengan sektor-sektor perlawanan lainnya (buruh, tani, kaum miskin perkotaan, nelayan) dalam mewujudkan revolusi yang sesunguhnya.

Kronologi Kasus Represifitas dan Ancaman Skorsing Anggota SMI Komisariat Tri Sakti Oleh Pihak Kampus






Tuesday, 04 September 2007

Berawal dari seringnya aktifitas perjuangan massa mahasiswa di kampus Tri sakti yang dilakukan oleh SMI Komisariat Tri Sakti dalam bentuk kerja-kerja propaganda ternyata mendapat reaksi keras dari pihak birokrasi kampus. Kejadian ini masih terkait dengan kasus pemanggilan kawan Fery Juniansyah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Tri Sakti angkatan 2004 selaku koordinator SMI Komisariat Tri Sakti yang beberapa bulan lalu dipanggil oleh Komisi Disiplin. Saat ini kawan Fery Juniansyah diancam skorsing selama dua (2) semester gara-gara melakukan aksi pengumpulan tanda tangan dikampus (kejadian pertama), kemudian pada tanggal 30 Agustus 2007 anggota-anggota komisariat SMI melakukan pemasangan spanduk di depan kampus tepatnya di jembatan penyeberangan kampus Tri Sakti yang bertuliskan “SELAMAT DATANG MAHASISWA BARU DI KAMPUS TRI SAKTI YANG TIDAK DEMOKRATIS” dan melakukan pembagian selebaran penyambutan mahasiswa baru yang berisikan tentang paradigma sosial mahasiswa dan ajakan untuk berorganisasi, pada saat itu pihak kampus dalam hal ini diwakili oleh Wakil Dekan III Fakultas Hukum Tri Sakti yaitu Fery Edward langsung melakukan pemanggilan dan mengancam akan memberikan skorsing lagi atas kasus pemasangan spanduk dan pembagian selebaran tersebut. Fery Juniansyah dituduh oleh Pihak Kampus (Wadek III) sebagai provokator, dalam tuduhan tersebut Fery Juniansyah dilarang melakukan aktivitas apapun yang terkait dengan kerja-kerja SMI. Orang tua Fery J dipangil oleh Pihak Wadek III, dengan alasan anaknya tidak disiplin dan dianggap melakukan aktivitas membahayakan bagi kampus. Persoalan ancaman skorsing bisa di cabut ketika Feri J mau menyatakan permintaan maaf atas perbuatanya dan membuat surat pernyataan untuk keluar dari SMI, namun hal tersebut ditolak oleh korban. Karena pada hakekatnya ia tidak melanggar aturan kampus.

Statement-Statemen Intimidatif yang melanggar kebebasan berekspresi mahasiswa, dari Wadek III FH USAKTI (Fery Edward)
1. Saya akan menskorsing jika Anggota SMI tetap melakukan Aktifitas organisasinya di lingkungan kampus
2. Tidak segan segan untuk men-DO pada anggota-anggota SMI yang pernah dipangil dan diperinggatkan oleh pihak Kampus. Jika terbukti mengulanggi kegiatannya.