16 Dec 2008

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) dan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK)

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Komisi pemberantas Korupsi merupakan dua lembaga negara yang berkedudukan setara akan tetapi mempunyai wewenang yang sangatlah berbeda. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang di bentuk berdasarkan Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dalam BAB VII dan Komisi Pemberantas Korupsi di bentuk berdasarkan Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantas Korupsi.

Komisi Nasioanal Hak Asasi Manusia

Berdasarkan Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia tujuan pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Pasal 75 yang berbunyi :Komnas HAM bertujuan:
a. mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia; dan
b. meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.

Untuk dapat mewujudkan tujuan tersebut maka Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sebagaimana di atur dalam pasal 76 ayat 1 Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi :” Untuk mencapai tujuannya, Komnas HAM melaksanakan fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi tentang hak asasi manusia”
Dalam menjalankan semua fungsi – fungsi yang dimiliki oleh Komisi Nasional Hak Asasi manusia sebagaimana yang di atur dalam pasal 89 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia tidak mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan melainkan hanya memiliki wewenang penyelidikan. Mengenai wewenang tentang peyidikan terhadap kasus pelanggaran HAM menjadi wewenang daripada pihak Kejaksaan Agung sebagaimana yang di atur dalam Undang – Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM.
Kalau di lihat dari segi wewang yang diberikan oleh negara kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang sangat serba terbatas maka proses penegakan HAM di indonesia tidak akan pernah bisa terselesaikan secara baik, dikarenakan dalam melakukan proses hukum dalam kasus yang sangat spesifik maka akan sangat sulit, dimana pada saat ini indonesia telah memiliki pengadilan Hak Asasi Manusia serta penyelidik sendiri dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia akan tetapi dalam proses peyidikan ini masih menjadi ranahnya dari pada kejaksaan sehingga ini semua akan menghambat proses penegakan HAM di Indonesia.

Komisi Pemberantasan Korupsi

Lembaga Negara yang di bentuk berdasarkan Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantas Tindak Pidana Korupsi, yang memiliki tugas untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pindana korupsi, sebagaimana di atur dalam Pasal 6 point C UU No. 30 Tahun 2002.
Berdasarkan tugas yang dimilikinya KPK menjadi lembaga yang sangatlah kuat di Indonesia dalam melakukan pemberantasan korupsi. Dalam melaksanaka amanah dari pada Undang – Undang, KPK dapat melakukan upaya pemaksaan terhadap saksi atau tersangka yang terindikasi tindak pidana korupsi seperti yang dilakukan oleh KPK terhadap Kasus yang dialami oleh Urip Tri Gunawan.
KPK dapat juga melakuka penyadapan terhadap percakapan yang dilakukan oleh orang yang terindikasi pelaku tindak pidana korupsi, di tengah wewenang yang sangatlah super serta ada itikad baik dari pada anggota KPK untuk terus melakukan pemantau serta pemberantasan terhadap tindak pidana korupsi di indonesia maka sekarang begitu banyak tersangka yang mulai disidangkan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi, begitu juga dengan kasus – kasus yang masih dalam penyelidikan hingga penyidikan.

Maka bisa di lihat walaupun KOMNAS HAM dan KPK merupakan lembaga negara yang sama – sama di bentuk berdasarkan Undang – Undang, akan tetapi secara wewenang yang diberikan oleh Undang – Undang sangatlah berbeda dimana KPK diberikan kewewenangan dari Penyelidikan sampai ke Penuntutan akan tetapi KOMNAS HAM hanya diberikan kewenangan hanya sebatas pada proses penyidikan.
Ini semua bisa kita lihat dari pada kinerja kedua lembaga ini, KPK telah begitu banyak kasus yang diselesaikan dikarenakan wewenang dia yang begitu besar akan tetapi sangatlah berbanding terbalik dengan yang dikerjakan oleh KOMNAS dimana sampai saat ini belum ada satupun kasus yang di tanggani oleh KOMNAS yang tuntas sampai ke proses pengadilan.
Maka dari ini semua untuk adanya peningkatan terhadap upaya penyelesaian kasus – kasus indikasi pelanggan Hak Asasi Manusia sangatlah diperlukan adanya pelimpahan wewenang secara Undang – Undang terhadap segala proses hukum mulai dari proses penyelidikan hingga pada penuntutan dimiliki oleh sebuah lembaga yang independent (KOMNAS HAM) guna untuk memperlancar proses hukumnya. Untuk mewujudkan upaya ini semua maka perlu dilakukan revisi terhadap Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia atau di buat Undang – Undang Khusus tersendiri mengenai lembaga Komisi Nasioanal Hak Asasi Manusia.

Aceh
Konflik yang melanda aceh selama 32 tahun telah begitu banyak membawa malapeta bagi rakyat Aceh baik itu dalam segi ekonomi maupun moril. Dalam masa konflik begitu banyak harta benda, nyawa yang menjadi korban.
Dalam kondisi aceh pasca konflik sangatlah banyak bisa ditemukan kasus – kasus terindikasi pelanggaan HAM seperti pembantai di Bumi Flora, pembunuhan aktivis RATA, kasus – kasus penghilangan orang secara paksa, sehingga sangatlah diperlukan upaya penyelesaian yang secara konkrit untuk menumbuhkan kembali rasa kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan proses penegakan HAM serta untuk mejaga perdamain yang di bangun tetap utuh.
Akan tetapi kalau wewenang yang dimiliki oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia hanya masih sebatas pada proses pemantauan, penyelidikan maka akan sanagatlah sulit untuk mengungkapkan kasus – kasus ini semua serta mewujudkan rasa keadilan kepada korban.

14 Dec 2008

TNI dan PEMILIHAN UMUM di Tanah Rencong

TNI merupakan alat negara yang selalu siap untuk digerakkan selama 24 jam demi kepentingan untuk menjaga kedaulatan serta keutuhan negara dari ancaman luar negeri. Dalam menjalankan peran, fungĂ­s dan tugasnya TNI harus selalu berpengan teguh kepada amanah Undang – Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Republik Indonesia, dimana di dalam pasal 5 UU No. 34 Tahun 2004 menjelaskan secara jelas peran TNI, yang berbunyi “TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara”.

Secara tugas TNI seperti yang diamanatkan oleh UU No. 34 Tahun 2004 pasal 7 ayat 2 yang menjelaskan tentang tugas pokok daripada TNI meliputi 2 hal yaitu : Operasi Militer Untuk Perang dan Operasi Militer Selain Perang. Dalam menjalankan tugasnya TNI tidak bisa lepas daripada 2 hal tersebut.

Secara fungsi antara TNI dan kepolisian sangatlah berbeda walaupun keduanya merupakan intitusi negara yang berperan sebagai alat untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Dimana bisa kita lihat dalam Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia pasal 2 tentang “Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat”.

TNI dalam melaksanakan tugasnya tidak boleh terlibat dalam lingkungan sipil atau kejahatan yang dilakukan oleh sipil seperti criminal karena dalam melaksanakan tugas sipil sudah ada aparat kepolisan sebagaimana yang di atur dalam Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia BAB III tentang Tugas dan Wewenang Kepolisian, Pasal 13 – 19 dan juga dalam UU No. 34 Tahun 2004 Tentang TNI pasal 7 mengenai tugas pokok TNI.

PEMILU DI ACEH

Pemilu menjadi indikator terhadap salah satu proses demokrasi di dalam suatu negara. Pemilu menjadi alat ukur untuk menentukkan arah masa depan bangsa kita ini. Akan tetapi sangalah berbeda dengan aceh, dimana pemilu di aceh selalu dalam kondisi yang tidak kondusif sepanjang sejarah pemilu di indonesia.

Pada saat pesta pemilu pertama tahun 1955 di indonesia sedang berlangsung secara meriah tidak begitu halnya dengan aceh,dimana pada saat itu aceh sedang munculnya pemberontakan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia yang di pimpin oleh Tgk. Daud Bereuh sehingga proses pemilu tidak bisa berjalan di aceh (Menurut catatan Kompas, pada Pemilu 1955 ada tujuh kabupaten tidak menggelar pemilu karena berbagai kendala. Ketujuh kabupaten itu adalah Bengkalis, Riau (16 November 1955), Aceh Besar (15 Oktober 1955), Aceh Timur (10 Oktober dan 15 November 1955), Aceh Barat (23 Oktober, 3 dan 8 November 1955), Pidie (29 September-8 Oktober 1955 secara berturut-turut), Aceh Tengah (3 November 1955), dan Kota Baru, Kalimantan Selatan (6-31 Oktober 1955)) dan sepanjang sejarah pemilu aceh selalu berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan.

Sedangkan sekarang ini setelah adanya perjanjian MoU Helsinki antara pemrintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka pada tanggal 15 Agustus 2005, kondisi demokrasi di aceh mulai agak sedikit terbuka dan sepanjang secara Aceh baru sekarang ini menjalankan pemilu tidak dalam kondisi konflik akan tetapi dalam masa transisi akan tetapi peran TNI masih terlihat sangatlah dominan dimana adanya pembentukan pos – pos baru TNI di gampong untuk proses pengamanan pemilu yang sedang berjalan.

Inilah yang menjadi sangat berbeda pada daerah yang pasca konflik seperti Aceh dimana peran TNI masih sangat dominan dalam penyelesaian hukum dan politik yang seharusnya menjadi ranahnya sipil atau kepolisian, ini semua bisa kita lihat pada saat penangkan ketua DPW Partai Aceh (PA) Aceh Timur Tgk sanusi dimana ini seharusnya menjadi peran kepolisian dalam melakukan pengakkan hukum.

Demikian juga halnya dalam Pemilihan Umum (pemilu) yang sedang berlangsung sekarang ini, dimana Aceh memiliki keunikan tersendiri di dalam pemilu dimana di aceh terdapat partai politik perserta pemilu dari partai lokal, proses pemilihan anggota Komisi Independent pemilu oleh DPRA serta tarik menarik antara elit di Aceh tentang Panwaslu dalam proses pengawasan pemilu.

Dalam persoalan keamanan pemilu adanya tumpang tindih wewenang antara TNI dan Kepolisian di Aceh dimana secara Undang – Undang yang bertanggung jawab terhadap segala kegiatan yang terjadi dilingkungan sipil dan tidak untuk mengaggun stabilitas negara menjadi tanggung jawab kepolisian, begitu juga halnya dalam proses pengamanan pemilu yang sedang berlangusung ini menjadi wewenang daripada pihak kepolisian.

Di Aceh kita melihat sekarang ini telah banyak didirikan pos – pos TNI dengan alasan untuk pengamanan pemilu yang seharusnya bukan menjadi kerjaan dari pada pihak TNI, kerana TNI hanya berfungsi sebagai diperbantukan dalam proses pengamanan yang menjadi kerjaannya sipil apabila diminta oleh kepolisian selaku yang bertanggung jawab dalam pengaman sipil.

Pembentukan pos – pos TNI untuk proses pengaman pemilu di Aceh Utara, Bireuen dan Bener Meriah merupakan sikap ketidak profesioannya TNI dalam menjalankan fungsinya serta bisa menjadi legitimasi TNI untuk ikut campur dalam urusan politik di Aceh. Dalam melakukan pendirian pos – pos TNI memilih daerah yang pernah menjadi basis daripada gerakan perlawanan terhadap Indonesia dulunya seperti yang dilakukan di Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kecamatan Permata, Kecamatan Syiah Utama di Kabupaten Bener Meriah demikian juga halnya di Kecamatan Nisam Antara Kabupaten Aceh Utara.

Proses Pemilu di Aceh dengan adanya pendirian Pos TNI akan menjadi sangatlah riskan dimana saat ini telah berdirinya 6 partai politik lokal sebagai peserta pemilu, dimana di dalam beberapa partai politik ada mantan tokoh – tokoh yang yang pernah melakukan perlawanan terhadap indonesia dan dimana ada satu partai yang dinahkodai oleh ex - combatan. Ini semua bisa menjadi pemicu terhadap konflik lagi karena menurut amatan partai politik lokal akan menjadi sangat dominan dalam perolehan suara kedepan dan ini menjadi langkah antisipasi oleh TNI terhadap proses pemilu di aceh.

Akan tetapi perlu diingat oleh kita semua bagaimana proses pemilu yang terjadi pada tahun 2004 pada saat Aceh menjadi Daerah Operasi Militer dimana hampir setiap kampung mempunyai pos TNI dan pada saat itu angka pemilih di Aceh melonjak drastis dari pemilu 1999, kenapa ini semua bisa terjadi? Tak lain karena adanya mobilisasi massa yang dilakukan oleh TNI untuk melakukan pencoblosan yang bertujuan untuk menunjukan kesuksesan daripada operasi yang dilakukan oleh TNI. Kondisi sekarang ini tidak akan jauh bedanya dengan pemilu pada tahun 2004 kalau sekarang ini masih adanya pos TNI di kampung – kampung dengan alasan untuk pengamanan pemilu yang seharusnya sudah menjadi bagian daripada tugas pihak kepolisian. Akan tetapi menjadi pertanyan menarik apakah pihak kepolisian Republik Indonesia tidak mampu melakukan proses pengamanan pemilu di Aceh sehingga TNI harus melakukan pendirian Pos di Kampung – Kampung? Kalau seandainya TNI tidak mampu melakukan proses pengamanan pemilu dan memerlukan bantuan daripada TNI masyarakat wajib untuk diberitahu dan TNI dalam melakukan pengamana pemilu tidaklah perlu untuk mendirikan pos di kampung karena hanya membuat masyarakat gelisan dan khawatir akan proses pemilu yang sedang berlangasung akan membawa petaka kembali kepada mereka.

Pemilu 2004 harusnya menjadi pembelajaran yang sangat berarti bagi kita semua, dimana pada saat ada intimidasi atau teror yang dilakukan oleh TNI secara nyata maka pemilu tidak akan bisa berjalan secara demokratis dan membawakan hasil yang kurang maksimal. Akankah kita membiarkan kondisi seperti ini terjadi kembali di dalam era perdamian yang sedang terjadi? Akan kita mempertaruhkan perdamaian abadi hanya untuk kepentingan pemilu di Aceh?

Maka dari permasalahan di tersebut untuk mewujudkan kondisi ideal di aceh :

1. Perlu segara di bentuk panitia pengawasa pemilu

2. Kembalikan TNI ke barak – baraknya dan segera meninggalkan pos yang ada di kampung – kampung

“Janglah kita membuat rakyat kita kembali gelisah setelah perdamaian yang belum mampu memenuhi rasa keadilan bagi mereka, biarkahlah rakyat menghirup udara perdamaian selam-lamanya tanpa ada ketakutan akan pos – pos TNI yang di bangun di gampong mereka.